Oleh : Yuslan Kisra
Kemarin (Senin,19/4) Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) genap berusia 80 tahun. Berangam acara menarik pun dilakukan otoritas sepakbola nasional di bawah kendali Nurdin Halid sebagai ketua umum, dalam menyambut hari jadinya.
Mulai dari yang bersifat ilmiah seperti bedah buku, sosial kemasyarakatan dengan memberikan santunan kepada mereka yang keluarganya lebih dari satu orang pernah bermain untuk timnas, hingga ke urusan religi dengan melakukan kunjungan dan tabur bunga ke taman makam pahlawan.
Perayaan hari jadi organisasi tertua di tanah air yang kali ini dipusatkan di Pekan Raya Jakarta dengan menghadirkan hiburan musik band papan atas, berlangsung meriah dan penuh hikmat sebagai cermin sukses yang telah diraih selama hampir satu dasawarsa eksis memimpin organisasi sepakbola nasional.
Hanya saja, jika kita menoleh ke belakang setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir, sudah pasti kita akan mengerutkan dahi, karena apa yang telah dirilis para pendahulu saat jaman keemasan sepakbola Indonesia dengan menjadi “Macan Asia”, sangat jauh dari harapan.
Untuk manusia, usia 80 tahun jelas sudah uzur dan tinggal menyisahkan masa kejayaan yang telah ditorehkan sebelumnya. Tapi untuk sebuah organisasi, usia seperti itu jelas sudah berada di puncak prestasi, setelah melalui banyak cobaan dan tantangan.
Sayangnya apa yang dialami PSSI justru berbanding terbalik. Bahkan boleh dikatakan, prestasi sepakbola nasional saat ini berada di titik nadir terendah yang ditandai dengan tidak berdayanya timnas ‘Merah Putih’ mengukir prestasi di pentas internasional.
Lalu, apakah ada sesuatu yang salah dalam sepakbola kita? Merujuk pada capaian prestasi, jelas jawabannya ya dan tidak bisa terbantahkan lagi. Sebab, bagaimana pun, muara dari pembinaan itu adalah prestasi. Sekiranya pembinaan yang dilakukan cukup baik, sudah pasti out put yang kita dapatkan tidak akan mengecewakan.
“Saya pastikan ada yang salam dalam pembinaan sepakbola nasional. Kenapa? Karena timnas sepakbola kita minim prestasi,” koar komandan pelatnas KONI Pusat Joko Pramono saat berbincang dengan wartawan terkait jebloknya prestasi timnas U-23 Indonesia di ajang SEA Games Laos beberapa waktu lalu.
“Jadi omong kosong, jika PSSI mengatakan tidak ada yang salah dalam pembinaan yang mereka lakukan. Sebab hasilnya bisa kita lihat, sama Laos saja kita kalah. Kalau pembinaan bagus, pasti kita bisa meraih prestasi,” tambahnya.
Apa yang dikatakan Joko ini benar adanya. PSSI selaku pemegang regulasi sepakbola nasional harus bisa introspeksi diri dengan program yang telah mereka buat dan laksanakan. Belum lagi kompetisi yang mereka gulirkan saat ini pun harus ditinjau ulang. Baik itu dari segi regulasi pemain asing, jadwal kompetisi, maupun perangkat pertandingan.
Jika ini semua bisa dibenahi, wacana melengserkan Nurdin Halid dari jabatan ketua umum yang sempat mencuat sepertinya tidak perlu dilakukan. Pasalnya, yang dibutuhkan saat ini adalah perubahan signifikan terhadap pengelolaan kompetisi serta paradigma sepakbola nasional dan bukan sekedar pergantian ketua umum.
Sebab, bisa dipastikan, siapa pun yang nantinya menjabat sebagai ketua umum dan memimpin organisasi olahraga paling populer di tanah air ini, tidak akan ada artinya, jika saja cara-cara lama dalam pengelolaan kompetisi tetap dipertahankan. Pendek kata, mata rantai mafia pertandingan (Mardin) dan suap yang saat ini menjadi perbincangan hangat harus diberantas habis.
Dalam artian, PSSI harus punya nyali untuk melakukan ini. Termasuk memberikan tindakan tegas kepada siapa pun, termasuk anggotanya sendiri, jika ada yang terbukti melakukan tindakan tidak terpuji tersebut. Dengan begitu, pelaksanaan kompetisi yang merupakan cikal bakal terbentuknya pemain timnas tangguh, bisa berjalan dengan baik dan sesuai harapan.
Tentunya, harapan memberikan kado istimewa kepada PSSI, berupa torehan prestasi terbaik di level internasional dengan menyuguhkan trophy juara, pada setiap merayakan hari jadinya.
Comments :
Posting Komentar